Manusia sering disebut
sebagai "Imago Dei", yaitu segambar dan serupa dengan Tuhan atau
dalam konteks umumnya berarti ciptaan yang memiliki potensi ilahi dalam
dirinya. Manusia mampu membangun gedung yang megah, menciptakan ilmu
pengetahuan, seni, dan bahasa yang berlangsung turun temurun. Manusia
dikaruniai kecerdasan khas yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan lainnya.
Selama ini mungkin kita menganggap kecerdasaan diukur berdasarkan nilai
akademik, IQ, dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya, beberapa orang memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda dalam berbagai bidang yang berbeda pula.
Kecerdasan atau intelligence merupakan suatu kemampuan menghadapi serta
menyesuaikan diri terhadap situasi baru dengan tepat dan efektif (C.P.
Chaplin), sangat penting untuk mengetahui arti kecerdasan sehingga kita
mengetahui bahwa intelligence tidak hanya dipandang berdasarkan IQ saja.
Jenis kecerdasan yang
diketahui oleh banyak orang saat ini umumnya dibagi menjadi 3 jenis, yaitu IQ,
EQ, dan SQ. Intelligence Quotient (IQ) adalah kemampuan seseorang untuk
menalar, memecahkan masalah, belajar, memahami gagasan, berpikir, dan
merencanakan sesuatu. Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah yang
melibatkan logika. Disisi lain Emotional Quotient Intelligence (EQ)
adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol
emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada
perasaan seseorang terhadap informasi akan suatu hubungan. Menurut seorang
psikolog bernama Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul "Emotional
Intelligence - 1996" mengatakan bahwa orang yang memiliki IQ tinggi namun
memiliki EQ rendah cenderung lebih sering gagal daripada orang yang memiliki EQ
tinggi namun IQ rendah. Dalam bukunya juga tertulis bahwa kesuksesan karir
seseorang ditentukan dari 85% EQ dan 15% IQ. Selain IQ dan EQ, kecerdasan yang
lain adalah SQ. Spiritual Quotient Intelligence (SQ) adalah kecerdasan
spiritual atau kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan
dirinya dan mampu menerapkan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Menurut Danah
Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya yang berjudul "Spiritual
Intelligence: The Ultimate Intelligence" mengatakan bahwa kecerdasan
spiritual adalah inti dari semua kecerdasan. Ketika seseorang memiliki
kecerdasan spiritual yang baik maka ia dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Di samping IQ, EQ, dan SQ
ada kecerdasan lain yang menarik, yaitu AQ. Apa itu AQ? Adversity Quotient
Intelligence atau sering disingkat AQ merupakan istilah kecerdasan baru
yang diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz pada tahun 1997 dalam bukunya berjudul
Adversity Quotient : Turning Obstacle into Opportunities. Menurut Stoltz
(2000:9), adversity quotient intelligence (AQ) adalah kecerdasan seseorang
dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Bagaimana dasar
pemikiran dari Adversity Quotient Intelligence ini diperkenalkan? Menurut
Stoltz, kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) sudah tidak
lagi menjadi dasar atau pijakan seorang dalam meraih kesuksesan, walaupun
Stoltz tidak mempungkiri adanya peranan IQ dan EQ dalam keberhasilan seseorang.
Stoltz berpikir dan mempertanyakan mengapa ada orang yang mampu bertahan dan
terus maju saat yang lain memilih untuk menyerah ketika mengalami kesulitan
padahal mungkin diantara mereka sama-sama cerdas dan pandai dalam bergaul. Menurut
Stoltz pada hal ini Adversity Quotient Intelligence menjadi hal yang membedakan
diantara orang-orang tersebut (Stoltz, 2000:17-20).
Adversity Quotient
Intelligence mengungkap sejauh mana seorang mampu bertahan menghadapi
kesulitannya, mengatasi kesulitan, dan meramalkan siapa yang akan menyerah dan
siapa yang akan bertahan saat menghadapi suatu kesulitan. Stoltz dalam teorinya
membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang berjalan untuk mendaki sebuah
gunung yaitu quitter, camper, dan climber.
Quitters (orang-orang yang berhenti), ditunjukkan untuk seseorang yang mudah keluar dan berhenti dalam menghadapi masalah atau tantangan kehidupan. Orang dengan tipe Quitters bekerja sekadarnya, memiliki sedikit ambisi, dan sedikit semangat. Tidak menyukai perubahan-perubahan yang ada sehingga cenderung menyerah di tengah jalan. Quitters dianalogikan sebagai pendaki yang berhenti mendaki gunung. Ada beberapa alasan ia berhenti untuk mendaki gunung, diantaranya adalah takut sulit, takut akan suhu yang ekstrem, maupun takut jika jatuh dari ketinggian.
Campers (orang-orang yang berkemah), ditunjukkan untuk seseorang yang sudah mencoba dan berjuang, namun ia tidak merasa cukup untuk menggapai cita-citanya sehingga ia akan berhenti di tengah jalan karena sudah bosan dan jenuh terhadap situasi yang ia hadapi. Campers dianalogikan sebagai pendaki yang memilih untuk berkemah di tengah pendakian. Hal ini disebabkan adanya rasa nyaman dengan pemandangan yang indah, udara yang sejuk juga membuat seseorang betah untuk berkemah terlalu lama, tanpa harus mendaki lagi.
Climbers (orang-orang
pendaki), ditunjukkan untuk seseorang yang mampu
mencapai kesuksesan dalam hidup. Ia tidak mudah menyerah ketika menhadapi
kesulitan dan tantangan kehidupan. Setelah ia beristirahat, orang dengan tipe
ini masih terus berjuang, optimis, dan memiliki motivasi tinggi untuk meraih
cita-citanya. Selama berjuang, ia tidak terganggu dengan hambatan-hambatan
seperti gunjingan, usia, jenis kelamin, dan lainnya. Climbers dianalogikan
sebagai pendaki yang terus mendaki sampai ke atas. Meskipun terhalang oleh
badai, hujan, dan panas terik, pendaki ini tidak menghiraukannya. Ketika merasa
lelah, tipe climbers akan beristirahat dan berkemah. Namun, ketika energinya
sudah terpenuhi barulah melanjutkan pendakiannya. Menurut Stoltz (2000:12),
kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat
Adversity Quotient Intelligence.
Bagaimana cara untuk
meningkatkan Adversity Quotient Intelligence? Mengembangkan Growth Mindset, dengan
memiliki growth mindset seseorang tidak lagi menganggap tantangan sebagai
hambatan melainkan peluang untuk berkembang. Ketika kita fokus pada
pembelajaran, peningkatan, dan ketekunan, seseorang mampu meningkatkan Adversity
Quotient Intelligence. Selain itu, kita perlu memiliki kemampuan untuk memahami
dan mengelola emosi kita secara efektif. Mengembangkan kecerdasan emosional
memungkinkan seseorang untuk mengendalikan emosi, tetap tenang di bawah
tekanan, dan membuat keputusan yang rasional. Disamping itu untuk membangun
ketahanan dan meningkatkan Adversity Quotient Intelligence, penting untuk
keluar dari zona nyaman dan mencari pengalaman yang menantang.
Adversity Quotient Intelligence inilah yang membuat seseorang terus bertahan dan maju dalam menghadapi berbagai situasi hidup, kecerdasan ini tidak kalah dibutuhkan untuk membuat kita semakin sukses dalam meraih impian. Kita perlu mengembangkan dan melatih Adversity Quotient Intelligence terutama membangun Growth Mindset dalam diri kita.
Referensi:
Quipper. (n.d.). Emotional Quotient (EQ) Intelligence. Diakses dari https://campus.quipper.com/kampuspedia/emotional-quotient-intelligence-eq
Quipper. (n.d.). Intelligence Quotient (IQ). Diakses dari https://campus.quipper.com/kampuspedia/intelligence-quotient-iq
Quipper. (n.d.). Spiritual Quotient (SQ) Intelligence. Diakses dari https://campus.quipper.com/kampuspedia/spiritual-quotient-intelligence-sq
Universitas123. (n.d.). Apa Itu Kecerdasan? Ini Pengertiannya. Diakses dari https://www.universitas123.com/news/apa-itu-kecerdasan-ini-pengertiannya
Kajian Pustaka. (2017, September). Adversity Quotient (AQ). Diakses dari https://www.kajianpustaka.com/2017/09/adversity-quotient-aq.html
Akseleran. (n.d.). 3 Kepribadian dalam Menghadapi Masalah. Diakses dari https://www.akseleran.co.id/blog/3-kepribadian-dalam-menghadapi-masalah/
QEP Indonesia. (n.d.). Kenali 3 Tipe Manusia Berdasarkan Gagasan Stoltz. Diakses dari https://qepindonesia.com/kenali-3-tipe-manusia-berdasarkan-gagasan-stoltz/
Rishi, A. (2020, December 6). The Importance of Adversity Quotient. Medium. Diakses dari https://medium.com/@adirishi.hyd/the-importance-of-adversity-quotient-ef944d10d83