Aku
tau hidup ini memiliki masa dimana setiap masa tersebut terdapat musimnya
masing-masing. Masa saat kita masih sekolah, kita memiliki musim untuk sibuk
mengerjakan tugas, belajar, dan bersahabat. Ketika kita sudah melewatinya,
masuklah masa yang baru. Masa itu adalah masa perkuliahan atau pekerjaan dimana
kita mulai sibuk memikirkan dan mempersiapkan masa depan. Apakah masa depan
itu? Seperti apakah masa depan yang selalu kita pikirkan dan kita nantikan itu?
Bagai menyentuh angin yang sekedar bisa merasakan dinginnya, bagai berjalan di
bawah terik matahari dan merasakan panasnya, seperti itukah masa depan? Seperti
waktu yang silih berlalu. Seperti waktu yang sudah dicapai lalu berganti lagi.
Tapi mengapa, rasanya sulit sekali membangun masa depan itu. Sulit sekali untuk
menentukan pilihan dan keputusan saat rasanya kedewasaan selalu dituntut untuk
memimpin. Kadang, aku ragu dengan diriku sendiri. Kenapa? Kenapa masa ini
membuat ku ragu? Sedangkan sejauh masa-masa lain yang sudah ku tempuh aku mampu
menang melewatinya? Oh, aku khawatir. Aku khawatir aku tidak berhasil. Aku
khawatir mimpiku tidak tercapai. Aku khawatir tidak disukai banyak orang. Aku
mengkhawatirkan masa depan ku yang sungguh tidak pasti. Namun, setiap kali aku
meletakkan kaki di setiap langkahku, ada kata sabar yang selalu diingat. Ada
kata, kau pasti bisa melaluinya yang selalu berdering di hati ku. Lagi dan lagi
aku harus berjuang dan berkorban untuk masa depan itu. Lagi dan lagi aku harus
menitihkan air mata untuk menanti waktu yang terbaik untuk diri ku. Sampai ku
dapati satu ayat yang menyinggung ku: “Apakah
kekuatanku, sehingga aku sanggup bertahan, dan apakah masa depanku, sehingga
aku harus bersabar?” – ayub 6:11
Dilematik
kehidupan yang selalu membuat kita gundah, tidak ada arah, gelisah, dan
khawatir menggoda ku apakah aku harus percaya pada Nya? Kemana kah Hadir-Nya
disaat semua terasa redup tak bercahaya, dimana kah aku harus berseru, seperti
apakah keberhasilan yang mampu aku raih saat aku menang melewati masa ini?
Semakin aku bertanya, semakin aku menemukan jawaban. Bahwa, saat inilah. Saat
dimana aku harus tetap yakin kalau Tuhan akan memberikan yang terbaik bagiku.
Ternyata godaan itulah yang membuat aku “beriman”. “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti
dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” – Ibrani 11:3.
Semakin
aku merasa tidak ada harapan, hidup terasa buram, cahaya tidak pernah terang
dititik manapun. Saat itulah, aku beriman bahwa Tuhan akan memberikan yang
terbaik bagiku, anak-Nya. Saat itulah aku percaya bahwa Tuhanlah satu satunya
sumber harapanku. Saat itu lah aku yakin bahwa hidup ku sepenuhnya ada di bawah
kehendak-Nya, semua jalan hidupku dipertimbangkan dan diatur sedemikian rupa
oleh-Nya. “Hai orang yang kurang percaya,
mengapa engkau bimbang?” – Matius 14:31. Mungkin Tuhan bertanya kepadaku seperti
itu, dan di ayat itupun Tuhan berkata “hai orang yang kurang percaya”. Mungkin
selama ini kita kurang percaya, sehingga kita mudah bimbang. Badai hidup ini
mengajarkan ku, semakin aku tidak tau apa masa depanku, bagaimana semuanya akan
terjadi, dan seperti apa rupa nya masa depan itu. Semakin aku harus percaya,
bahwa Tuhanlah yang memegang hidupku. Aku percaya, Tuhan. Walaupun aku tidak
mengerti. Aku percaya, Tuhan. Walaupun aku sungguh tidak tau apa yang Kau
rencanakan pada ku. Aku percaya, Tuhan. “Aku
tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu
yang gagal” – Ayub 42:2
Persoalan
hidup ini membuat ku semakin menyadari bahwa hidup ini adalah tentang sejauh
mana kita tetap yakin dan percaya kalau Tuhan memegang kendali hidup kita dan
akan memberikan yang terbaik untuk kita. Walaupun kita diterpa badai kehidupan
yang membuat kita perih dan terluka, namun percayalah: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan
kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan
yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” – Pengkhotbah 3:11
Aku
sebagai manusia menyerah untuk menyelami pekerjaan yang Kau lakukan Tuhan dari
awal sampai akhir. Sedikitpun tidak bisa ku bayangkan dan prediksikan apapun
yang akan Kau lakukan dalam hidupku, dan aku menyerah mengikuti pengertianku
sendiri. Tuhan, mohon “Ajarlah kami
menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana”
– Mazmur 90:12. Amin.